SEJARAH BALAI HARTA PENINGGALAN

Keberadaan Balai Harta Peninggalan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kedatangan Pemerintah Belanda pada tahun 1596, yang tujuan awalnya adalah untuk berdagang. Seiring perkembangan waktu, perdagangan Pemerintah Belanda mendapat tekanan dari pesaing dari Cina, Inggris dan Portugis yang mempunyai armada-armada yang lebih besar. Untuk menghadapi persaingan, Pemerintah Belanda kemudian membentuk Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Perusahaan Belanda Hindia Timur. Dengan pembentukan VOC tersebut, Pemerintah Belanda mendapatkan kesuksesan dan terus melakukan perluasaan daerah perdagangan, salah satunya adalah melalui peperangan.

Bertambah luasnya daerah perdagangan berbading lurus dengan jumlah orang belanda yang meninggal dalam peperangan. Guna mengurus harta kekayaan dari orang yang meninggal tersebut, demi kepentingan para ahli warisnya yang berada di Belanda, pada pada tanggal 1 Oktober 1624 dibentuklah sebuah lembaga yang diberi nama Wees En Boedel Kamer atau dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan sebutan Balai Harta Peninggalan (BHP) yang berkedudukan di Jakarta. Untuk menjangkau wilayah Indonesia yang sangat luas, setelah BHP Jakarta dibentuk, maka menyusul dibentuk lagi BHP Medan, Semarang, Surabaya dan Makasar. Bahkan di hampir tiap-tiap Karesidenan / Kabupaten pada waktu itu dibentuk BHP yang merupakan Kantor Perwakilan. Pasca kemerdekaan Indonesia, keberadaan Balai Harta Peninggalan tetap ada berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yaitu “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.

Kehadiran BHP di Indonesia mengalami masa pasang surut, yakni dengan penghapusan BHP Ujung Pandang dan perwakilan-perwakilannya dengan Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI tanggal 12 Oktober 1964 Nomor J.A.10/11/24. Kemudian pada tahun 1976 oleh Menteri Kehakiman yang pada waktu itu dijabat oleh Mochtar Kusumaatmadja dirasa perlu untuk membentuk kembali BHP Ujung Pandang dan perwakilan-perwakilannya, maka dengan Surat Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 23 Oktober 1976 No. J.S.4/9/1 telah dibentuk kembali BHP Ujung Pandang dan perwakilan-perwakilannya.

Seiring perubahan politik dan sistem hukum di Indonesia, keberadaan seluruh kantor Perwakilan BHP kemudian dihapus, sehingga semua tugas teknis di Perwakilan dikembalikan/diserahkan kepada BHP yang membawahinya. Dengan demikian saat ini hanya ada 5 (lima) BHP di Indonesia, yaitu Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan dan Makasar, dan masing-masing meliputi wilayah kerja di daerah tingkat I dan tingkat II.

No. Peradilan Tinggi / RvJ Wilayah Yurisdiksi
1. RvJ Karta Jakarta, Jawa Barat, Lampung, Palembang, Jambi, Bangka Belitung, dan Kalimantan Barat
2. RvJ Surabaya Jawa Timur dan Madura, Bali, Lombok, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur
3. RvJ Semarang Jawa Tengah
4. RvJ Padang Sumatera Barat, Tapanuli, dan Bengkulu Sumatera Aceh dan
5. RvJ Medan Sumatera Timur, Aceh, dan Riau
6. RvJ Makassar (Ujung Pandang) Sulawesi, Timor, dan Maluku

Sumber buku an Introducing to Indonesian Law

Selanjutnya berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 32 Tanggal 27 Januari 1926 (LN 1926 No.41) ditetapkan bahwa BHP terdapat di Jakarta, Surabaya, Semarang, Padang, Ujung Pandang, dan Medan serta memiliki wilayah kerja yang sama dengan Raad Van Justitie sesuai tempat kedudukan BHP. Selain itu pada tahun 1926 BHP di Bandung, Yogyakarta, dan Malang dibubarkan sesuai dengan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 73 tanggal 26 Maret 1926 (LN 1926 No. 127).

Sesuai Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 5 tanggal 19 Januari 1934 (LN 1934 No.28) BHP Padang dibubarkan dan pelaksanaan tugas serta fungsinya diserahkan kepada BHP Surabaya. Namun pada tahun 1955 BHP Padang dimunculkan kembali beserta perwakilannya berdasarkan Penetapan Menteri Kehakiman No.2272/D.H.P.2 tanggal 20 September 1955. Penetapan tersebut juga menetapkan wilayah kerja dan perwakilan BHP yaitu sebagai berikut:

Total Pembagian Wilayah Kerja dan Perwakilan BHP Tahun 1955

No. Kantor BHP Wilayah Yurisdiksi
1. BHP Jakarta Jakarta, Jawa Barat, Lampung, Paleembang, Bangka Belitung, dan Kalimantan Barat
2. BHP Surabaya Jawa Timur dan Madura, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur
3. BHP Semarang Jawa Tengah dan Yogyakarta
4. BHP Padang Sumatera Barat, Sibolga, Tapanuli, Nias dan Bengkulu, dan Jambi
5. BHP Medan Sumatera Utara (kecuali Sibolga, Tapanuli, Nias) Aceh, Riau, dan Kepulauan Riau
6. BHP Makassar (Ujung Pandang) Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara (termasuk Bali, Lombok Sumba Sumbawa Irian Barat)

Sumber: Penetapan Menteri Kehakiman No. 2272/D.H.P.2

Pada tahun 1964 terbit Keputusan Menteri Kehakiman (Kepmenkeh) No. J.A. 10/11/24 tanggal 12 Oktober 1964 yang memutuskan bahwa BHP Makassar dan perwakilannya dihapuskan serta pelaksanaan tugas dan fungsi, kepegawaian, dan administrasi dari BHP Makassar dan perwakilannya diserahkan pada Pengadilan Negeri (PN) sesuai domisili kantor masing-masing. Namun tahun 1967, BHP Makasar dibentuk kembali beserta perwakilannya sesuai dengan Kepmenkeh No. Y.S. 4/9/1 tanggal 23 Agustus 1976.

BHP ditetapkan menjadi lima yaitu di Jakarta, Surabaya, Semarang, Makassar, dan Medan. Berdasarkan Kepmenkeh No. M.01.PR.07.01-08 Tahun 1980 tentang Organisasi dan Tata Kerja BHP. Selain itu disebabkan bahwa BHP merupakan unit pelaksana penyelenggaraan hukum di bidang harta peninggalan dan perwalian dalam lingkungan Dapartemen Kehakiman. BHP berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal (Dirjen) Hukum dan perundang-undangan melalui Direktorat Perdata. BHP menyampaikan laporan kepada Drijen Hukum dan Perundang-undangan melalui Direktur Perdata dan tembusan laporan disampaikan kepada satuan organisasi lain yang secara fungsional mempunyai hubungan kerja. Tata Kerja BHP menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi baik internal, satuan organisasi dibawah Dapartemen Kehakiman atau Direktorat Jenderal, dan instansi eksternal.

Seiring perkembangan dan perubahan sistem Hukum di Indonesia, Tahun 1987 semua Perwakilan BHP di seluruh Indonesia dihapuskan sesuai Kepmenkeh No. M.06-PR.07.01 Tahun 1987 dan semua tugas teknis di Perwakilan dikembalikan/diserahkan kepada BHP yang membawahinya. Saat ini hanya ada lima BHP di Indonesia, yaitu Jakarta, Medan, Semarang, Surabaya, dan Makassar, dan masing-masing meliputi wilayah kerja di daerah tingkat I dan tingkat II.

Peraturan yang mengatur mengenai BHP adalah peraturan perundang-undangann mengenai hukum keluarga yang termuat dalam Buku I KUH Perdara (KUHPer/BW), ketentuan-ketentuan tentang pendirian maupun instruksi BHP, peraturan rumah tangga atau peraturan jabatan, peraturan keuangan untuk mengatur pelaksanaan pengurusan terhadap segala uang yang berada dalam pengurusan BHP dan peraturan-peraturan lainnya.

Sesuai Permenkumham No. M-01.PR.07.10 tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Dapartemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, BHP merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) berada di lingkungan Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) di bawah Divisi Pelayanan Hukum dan HAM, tetapi secara teknis bertanggung jawab langsung pada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) melalui Direktur Perdata.

Struktur Organisasi BHP berdasarkan Kepmenkeh No. M.01.PR.07.01-80 Tahun 1980 tentang Organisasi dan Tata Kerja BHP adalah sebagai berikut. Susunan Organisasi BHP terdiri dari:

  1. Ketua;
  2. Sekretaris;
  3. Anggota Teknis Hukum;
  4. Seksi Harta Peninggalan Wilayah I;
  5. Seksi Harta Peninggalan Wilayah I;
  6. Seksi Harta Peninggalan Wilayah III;

Sekretaris dibantu oleh Kepala Subbagian Tata Usaha yang dibantu oleh:

  1. Kepala Urusan Keuangan;
  2. Kepala Urusan Kepegawaian;
  3. Kepala Urusan Umum;

BHP berada di bawah Divisi Pelayanan Hukum dan Hak Asasi Manusia berdasarkan Permenkumham No. M-01.PR.07.10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kanwil Kemenkumham. Namun secara teknis BHP bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum.

Pada Ditjen AHU pengawasan pelaksanaan tugas BHP berada di bawah Subdirektorat Harta Peninggalan dan Kurator Negara (Subdit HPKN) Direktorat Perdata. Salah satu tugas subdit HPKN adalah penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta pelaksanaan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang pelaksanaan tugas BHP serta menerima pendaftaran Kurator dan Pengurus serta penyiapan penerbitan surat bukti pendaftaran kurator dan pengurus.